KAMPANYE CAWA LAMPUNG

Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Masyarakat Lampung (PERMALA) mengajak  kepada masyarakat lampung untuk memberikan dukungan dalam  rangka melestarikan bahasa lampung. Dengan tema “WAJIB CAWA LAMPUNG” untuk memberikan dukungan silahkan isi formulir dibawah ini :

yang sudah memberikan dukuang bisa dilihat   DIJA

Contac person : Hendrawan Telp 0721 3522001 HP : 0812 79520001

Dimohon untuk memberikan identitas jelas, dari para pendukung akan diundang untuk memberikan langsung dukuangan kepada pemerintah daerah Lampung

 Terima kasih

Nama
Alamat
No. Telp/HP
Isi Dukungan
Photo
Email address
Verifikasi Kode
Please enter the text from the image:
[ ulangi ] [ Apa ini? ]

Tuesday, December 15, 2015

Sejarah Kesultanan Lampung Segera Terungkap

Permala - Sejarah Kesultanan Lampung Segera Terungkap : Sejarah Lampung dalam pengertian sebagai sebuah kebudayaan sudah sering ditulis. Ada yang bercerita sembari mengunggah mitologi, ada yang membongkar aturan dan adat yang berlaku, dan tak sedikit yang menyusuri jejak dari benda-benda bersejarah juga karya-karya seni seperti sastra.

Salah satunya oleh Prof. Dr. A. Fauzi Nurdin. Dia menulis buku, Muakhi. Isinya bicara tentang nilai kebersamaan, rasa persaudaraan di antara orang Lampung, yang dipudun padukan dengan nilai-nilai agama Islam.  “Akar segala nilai dalam kebudayaan Lampung,” kata Fauzie Nurdin ketika kami berbincang di serambi rumahnya, Minggu, 18 Oktober 2015, “ada dalam Quran dan Hadits.”

Jelas tak terbantahkan. Semua orang Lampung mengakuinya. Tapi perkara itu menjadi tidak khas. Sebab, seperti sebagian besar kebudayaan yang ada di Pulau Sumatra, adat dari seluruh kebudayaan di negeri ini selalu sejalan dengan kitabulloh (Kittab Alloh). Di lingkungan masyarakat kebudayaan Minangkabau, bahkan, di lingkungan masyarakat adat Batak (terutama di wilayah Selatan), adat selalu sejalan dengan Quran dan Hadis.

Tak heran bila di wilayah pesisir Barat, ketidakkhasan itu acap dikait-kaitkan. Kebudayaan Lampung, yang diyakini berkembang mulai dari Gunung Pesagi, konon dipengaruhi kebudayaan Minangkau. Dulu, entah kapan, wakil dari Kerajaan Pagaruyung, tiba di wilayah pesisir Barat untuk menyebarluaskan agama Islam.

Di daerah itu, agama Islam berkembang pesat, setelah melampaui sebuah peristiwa besar berupa perang. Tapi, bukan sebuah proses yang langsung jadi, melainkan sebuah proses panjang yang berdarah. Alkisah, setidaknya inilah yang hendak dikabarkan penulis novel Perempuan Penunggang Harimau, ada perang antara penduduk asli yang merupakan suku Tumi (kita tak tahu persis kebenaran suku ini) dengan pendatang dari Kerajaan Pagaruyung.

Suku asli kalah dan tersingkir, lalu pendatang berkembang. Mereka kemudian menjadi leluhur dari kebudayan yang ada. Anak keturunan mereka kemudian berpencar, membentuk kelompok-kelompok baru, berkembang-biak, lalu membangun wilayah-wilayah kekuasaan masing-masing yang kini dikenal sebagai Provinsi Lampung.

Tapi sejarah kebudayaan ini hanya diakui kelompoknya.

Ada kelompok budaya Lampung lainnya, yang juga punya sejarah berbeda dengan alur yang juga berbeda. Kita pun mengenal Abung Siwo Mego yang berkembang di wilayah Utara, yang kemudian menjadi dasar bagi terbentuknya wilayah Lampung Utara. Pemekaran wilayah membuat wilayah geografis Lampung Utara kini menyempit, meskipun perkembangan suku Abung Siwo Mego sendiri menjadi begitu luas.

Di sebelah Timur, ada Lampung lain. Digerakkan oleh apa yang disebut Keratuan Pugung—yang melahirkan Keratuan Melinting dengan anak keturunan yang menyebar ke wilayah Selatan yakni Keratuan Darah Putih di wilayah Lampung Selatan.  Tapi di wilayah Selatan itu, ada pula Lampung lain, yakni Keratuan Dibalaw, yang menempati wilayah geografis Teluk Betuk.

Sejumlah pengamat percaya –berdasarkan artefak yang aksara yang ditemukan—Keratuan Dibalaw bermula di pinggir Danau Ranau.  Sayang, bagaimana bisa Keratauan Dibalaw yang ada di Danau Ranau (pesisir Barat) bisa pindah ke pesisir Selatan (Bandar Lampung)? Tidak ada jejak yang ditemui, kecuali pada makam seseorang yang diduga ahli waris Keratuan Dibalaw yang ada di Bandar Lampung.

Lantas, bagaimana menjelaskan Lampung lain, yakni Lampung pesisir yang pusat perkembangannya bermuara di Kelumbayan—yang meluas ke wilayah Padang Cermin—dan dikenal luas sebagai Kesultanan Lampung. Dalam sejarah Banten, Lampung ini merupakan cikal bakal pendiri Kesultanan Lampung yang didukung Kesultanan Banten.

Meskipun begitu, di wilayah yang sama,  ada Lampung lain di pesisir Teluk Semaka, di muara Way Semaka. Sungai yang mengalir dari perbukitan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ini, konon sungai besar yang bisa dilalui perahu besar. Tapi jejaknya hari ini, kita hanyan melihat batu-batu menyerak. Sering, memang, Way Semaka membawa musibah banjir. 

Lepas dari persoalan banjir itu, Way Semaka adalah jalur migrasi yang mungkin dipakai leluhur Lampung di kawasan pesisir Barat ke pesisir Teluk Semaka. Tapi, untuk apa leluhur itu migrasi, belum terungkap hingga kini. Cuma, kita tahu persis, sebagian besar anak keturunan warga Lampung yang ada di pesisir Teluk Semaka,  kini berumah dan tinggal di Rajabasa, Kota Bandar Lampung. Rajabasa dikenal luar sebagai lokasi terminal di Provinsi Lampung. Tapi di wilayah Lampung Selatan, Rajabasa adalah nama untuk Gunung Rajabasa.

Jika gunung diyakini sebagai awal mula sebuah masyarakat kebudayaan, seperti Lampung berasal dari Gunung Pesagi, maka Lampung yang ada di wilayah Lampung Selatan memposisikan Gunung Rajabasa sebagai tempat keramat. Cuma, apakah Gunung Rajabasa juga menjadi daerah asal mula warga Lampung yang ada di pesisir Selatan? Tidak ada penjelasan. Kita hanya tahu, anak keturunan warga Lampung di pesisir Selatan punya tradisi kuat sebagai ahli waris Keratuan Darah Putih. Keratuan Darah Putih dibangun oleh anak keturunan Keratuan Pugung dan Keratuan Melinting.

Pengaruh mempengaruhi ini membuat sejarah kebudayaan Lampung justru sangat kaya, dan tetap menyimpan misteri yang menantang para ahli untuk mengungkapnya. Apakah akan menelusurinya dari gunung-gunung yang dikeramatkan seperti Gunung Pesagi, Gunung Rajabasa, atau malah Gunung Pesawaran? Atau, menyusuri jejak-jejak itu dari sejumlah sungai (way), seperti yang dilakukan untuk menyusuri anak keturunan Buay Bulan yang bermigrasi dari pesisir Barat menuju Tulangbawang. 

Semua hal bisa dicoba selama sumber referensinya berangkat dari hal-hal yang diketahui umum di lingkungan masyarakat Lampung. Tapi, sangat memprihatinkan jika sejarah kebudayaan Lampung itu mesti dilacak di Belanda, di negeri dari orang-orang yang pernah mempecundangi kebudayaan Lampung. Kita tahu, dari sejarah yang ditulis, Belanda mengawali penjajahan dengan menerjunkan para antropolog dan ahli bahasa. Hasil kajian para ahli itu kemudian menjadi sumber referensi untuk merumuskan strategi penjajahan. Kalau strategi yang dibuat tak mempan karena ada perlawanan dari kelompok-kelompok budaya yang tidak terdata oleh para ahli itu, maka strategisi selanjutnya adalah melemahkan kelompok budaya tersebut ke dalam posisi sebagai orang-orang kriminal.

Sejarah ditulis oleh orang-orang menang. Sejarah ditulis oleh penguasa yang berkuasa. Kita belajar dari cara Belanda menulis sejarah dirinya. Maka, pemerintah Orde Baru menulis sejarahnya sendiri. Kita mengamini sejarah itu dan menganggapnya sebagai kebenaran. Kita tahu persis, kebenaran dalam sejarah baru bisa dianggap benar apabila sudah teruji fakta-faktanya