
Jauh hari sebelum pelaksanaan kampanye, banyak pemilih yang sudah memiliki preferensi (pilihan) tentang pasangan calon presiden/wakil presiden (capres/cawapres) mana yang akan dipilih. Sebagian di antara pemilih masih ragu-ragu, ada pula yang masih belum menentukan pilihan. Bagi pemilih yang sudah cukup kuat menentukan pilihan, biasanya sulit berubah ke lain hati. Tetapi bagi yang masih ragu-ragu, apalagi yang masih belum menentukan pilihan, masih bisa berubah. Ada pula yang tetap tidak bisa menentukan pilihannya.
Yang terakhir ini biasanya kemudian memutuskan untuk tidak memilih (golput). Dalam situasi seperti itu, musim kampanye merupakan musim yang cukup penting. Kampanye bisa berfungsi sebagai instrumen untuk meneguhkan atau mengubah predisposisi seperti itu. Bagi pemilih yang sudah kuat menentukan dukungan, kampanye lebih berfungsi sebagai pemerkuat bahwa pilihannya itu tepat adanya.
Bagi pemilih yang masih ragu-ragu, kampanye berfungsi sebagai indikasi atau petunjuk tentang pasangan mana yang harus mereka pilih. Pemilih ini akan berusaha membandingkan, pasangan mana yang lebih baik setelah melakukan observasi terhadap semua pasangan yang ada.
Sementara itu, bagi pemilih yang masih belum menentukan, kampanye capres-cawapres berfungsi sebagai instrumen untuk meyakinkan apakah akan ikut memilih atau tidak. Ketika di antara capres ada yang dipandang baik untuk dipilih, mereka akan datang ke bilik suara. Sebaliknya, ketika di antara pasangan capres itu dipandang tidak ada yang layak untuk dipilih, mereka tidak akan datang ke bilik suara.
Perdebatan
Semua pasangan capres ingin memperteguh dukungan pemilihnya, membujuk pemilih yang masih ragu-ragu dan yang belum menentukan pilihan, bahkan membujuk pemilih pasangan lain untuk pindah ke lain hati. Semangat ini, paling tidak, terlihat dari kampanye yang sudah dilakukan sejak dua Juni lalu.
Di antara indikasi-indikasi itu, masing-masing pasangan calon berusaha mengeluarkan isu-isu yang bisa menjadi pembeda dengan pasangan capres lain. Pasangan Mega-Prabowo, misalnya, mengusung isu ekonomi kerakyatan dan antineoliberalisme. Pasangan SBY-Boediono melontarkan isu tata kelola pemerintahan yang baik dan model pembangunan berbasis pertumbuhan dan pemerataan sekaligus.
Selain mereka, pasangan JK-Wiranto mengeluarkan slogan lebih cepat lebih baik di dalam membangun. Lontaran yang berbeda-beda itu cukup efektif melahirkan perdebatan di antara pasangan capres dan para pendukungnya. Masing-masing berusaha menjadikan isu-isu itu sebagai basis argumentasi untuk mengeluarkan gagasan-gagasan untuk Indonesia ke depan, juga sebagai basis untuk "menyerang" pasangan lain.
Tidaklah mengherankan bila dalam minggu-minggu terakhir perdebatan mengenai isu-isu semacam itu cukup intens, baik antarpasangan calon maupun antarpendukung. Kecenderungan semacam itu, dalam taraf tertentu, sangat menguntungkan bagi pemilih.
Para pemilih, khususnya pemilih yang rasional, bisa menyaksikan perdebatan tentang isu-isu, termasuk bagaimana masing-masing pasangan merespons "serangan" dari pasangan lain. Khusus bagi pemilih yang masih ragu-ragu atau yang masih belum menentukan pilihan, perdebatan semacam itu bisa dijadikan sebagai pertimbangan tentang pasangan calon mana yang akan dipilih.
Masih Umum
Posisi yang lebih jelas dari masing-masing pasangan itu seharusnya bisa dijadikan sebagai titik tolak untuk merumuskan program-program atau janji-janji yang akan dilaksanakan lima tahun yang akan datang. Masing-masing calon juga sudah berusaha melakukannya. Hanya saja, apa yang dilakukan oleh pasangan calon itu acap masih terlalu umum, masih belum operasional.
Misalkan saja, masing-masing pasangan calon mematok pertumbuhan ekonomi ke depan jauh lebih baik. Bahkan ada yang ingin mematok di atas dua digit. Instrumen seperti apa yang akan dipakai untuk pertumbuhan demikian, belum jelas. Taruhlah mereka bermaksud menggunakan instrumen kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal dan moneter seperti apa yang hendak dipakai, belum menjadi perdebatan serius.
Kalau hendak menggunakan instrumen lain, instrumen apa dan bagaimana mekanisme atau kerangka kerjanya. Hal serupa terjadi pada isu-isu yang lain. Sebagai contoh, mereka bermaksud mengedepankan aspek pemerataan atau ekonomi kerakyatan. Instrumen kebijakan apa yang hendak dilakukan dan bagaimana mekanisme kerjanya, juga masih terlalu umum.
Pada isu-isu pemerataan atau ekonomi kerakyatan, pasangan calon lebih terpaku pada sisi pengeluaran, misalnya melalui kebijakan pemberian stimulus, subsidi, atau jaminan sosial. Padahal, kebijakan-kebijakan semacam itu tidak akan teroperasionalisasi secara baik manakala sisi masukan atau pendapatan belum jelas.
Pertanyaan penting yang bisa diajukan adalah, bagaimana melakukan pembiayaan terhadap kebijakan-kebijakan semacam itu? Taruhlah akan dilakukan melalui kebijakan fiskal, kebijakan seperti apa? Apakah kebijakan yang dibuat itu tidak akan mengganggu kebijakan pada sektor-sektor yang lain? Isu-isu yang lebih operasional belum banyak dieksplorasi dan dijelaskan oleh masing-masing pasangan.
Tidaklah mengherankan kalau kemudian ada yang berpandangan bahwa isu-isu yang dimunculkan oleh masing-masing calon masih berupa janji-janji semata. Operasionalisasi dari janji-janji itu masih belum tampak jelas. Padahal, bagi kelompok pemilih yang rasional, adanya operasionalisasi program atau janji-janji yang lebih jelas merupakan sesuatu yang penting.
Melalui operasionalisasi ini para pemilih semacam itu tidak hanya bisa menilai apakah program-program yang dilontarkan itu masuk akan (workable) atau tidak. Meski programnya kelihatan bagus, bila tidak workable tidak akan menarik. Selain itu, pemilih semacam itu juga akan menilai, apakah program-program yang dijanjikan itu akan menguntungkan mereka atau tidak. Manakala pemilih itu merasa diuntungkan, mereka akan memilihnya. Sebaliknya, ketika mereka merasa terugikan oleh program-program yang ditawarkan, mereka tidak akan memilihnya.
Maksimalisasi Kesempatan
Memang, pemilih kita masih belum didominasi oleh pemilih rasional. Di antara mereka masih lebih mengedepankan masalah leadership dan ikatan ideologis. Tetapi pemilih yang rasional semakin banyak. Karena itu, pasangan calon harus pandai-pandai mendekati kelompok pemilih demikian melalui jabaran isu-isu yang lebih operasional dan cerdas.
Masih ada tersisa waktu bagi pasangan capres-cawapres untuk memunculkan gagasan-gagasannya secara lebih konkret. Paling tidak, banyak gagasan-gagasan yang masih abstrak itu bisa dijabarkan ke program-program yang lebih operasional. Mudah-mudahan waktu tersisa ini bisa dipakai, di antaranya, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bukan sekadar kualitatif, melainkan juga kuantitatif.
Memang, musim kampanye bukan sebagai penentu utama di dalam memengaruhi pemilih. Sebelum musim kampanye di antara pemilih sudah memiliki pilihan sendiri-sendiri, tapi adanya tawaran-tawaran program yang lebih membumi akan memperkuat pilihan itu. Tidak tertutup pula kemungkinan bisa menarik pemilih dari pasangan calon lain
No comments:
Post a Comment